Penyelamat Umbi-Umbian, Ada di Sawahan

Riskianto, A.Md. 26 Mei 2016 00:08:59 WIB

Sawahan (SID) - Trisno Suwito (65) tahun, warga Padukuhan Plarung, Desa Sawahan, Kecamatan Ponjong sosok bersahaja ternyata menyimpan seribu cerita. Laki-laki yang menjabat sebagai Ketua RW Padukuhan Plarung ini merupakan sesepuh yang disegani masyarakat di Padukuhan Plarung dan telah mengabdikan dirinya untuk Padukuhan Plarung sejak masih muda sampai saat ini menginjak usia senja.

Hampir semua kegiatan di Padukuhan Plarung, Trisno Suwito selalu ambil bagian dalam kegiatan tersebut. Sebenarnya Trisno Suwito sudah ingin istirahat dalam mengabdikan dirinya agar digantikan oleh orang lain, tetapi masyarakat hampir tidak bisa lepas dari peran beliau dalam menggerakkan semua kegiatan di Padukuhan Plarung. Dibalik sosok kewibawaan tersebut ternyata ada sejarah yang tidak bisa dilupakan oleh Trisno Suwito.

Musibah kelaparan tahun 1963  atau pada masa itu disebut Jaman Gaber di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, adalah masa paling mengerikan dalam hidup Trisno Suwito (60). Setiap hari ada saja warga Gunung Kidul yang mati karena kelaparan. Pada masa itu makanan sangat sulit didapat karena hampir semua sumber pangan dirusak oleh hama tikus. Warga mencari alternatif makanan demi bertahan hidup, disitulah umbi-umbian menjadi penolong pada masa itu. "Kami enggak peduli walaupun sehabis makan umbi beracun perut kami melilit, yang penting kami masih bisa bertahan hidup," ungkap Trisno Suwito memulai menceritakan sejarah kelam itu.

Hingga tahun 1980-an umbi-umbian liar masih menjadi cadangan makanan penting selain nasi bagi warga Desa Sawahan. Mereka biasa menyebut umbi-umbian itu sebagai peganjel lumbung. Artinya, kalau musim paceklik dan petani tidak memiliki nasi, mereka akan memakan umbi-umbian untuk mengganjal perut.

Memasuki pertengahan tahun 1980-an, zaman berubah ketika program swasembada beras yang digulirkan Orde Baru berjalan lancar. Petani mendapat bibit padi dan pupuk dengan mudah. Mereka pun dapat memanen padi dan palawija bergantian setiap tahun. Meski tetap hidup pas-pasan, mereka tidak mengalami kelaparan lagi. Mereka dapat makan dengan nasi yang merupakan simbol kemakmuran ketika itu.

Namun, sejak saat itu pula warga Gunung Kidul melupakan umbi-umbian sebagai peganjel lumbung. Mengonsumsi umbi-umbian sebagai bahan makanan pokok seperti memutar kaset tentang masa-masa kelaparan yang sebenarnya ingin mereka kubur dalam-dalam. Karena itu, umbi-umbian pun turun derajat sebagai campuran pakan ternak.

Sebagian petani bahkan menyingkirkan umbi-umbian berduri dari ladangnya masing-masing yang tidak laku dijual. Akibatnya, mulai tahun 1990-an beberapa jenis umbi sulit ditemukan dari Gunung Kidul, padahal umbi-umbian adalah tanaman khas yang bisa hidup dengan baik di perbukitan kering seperti Gunung Kidul. Tidak mengherankan jika kini generasi baru di Gunung Kidul mungkin hanya tahu nama umbi-umbian itu dari orangtua mereka tanpa pernah melihat sendiri.

Ayah Trisno, Noyo Semito (Alm) yang petani miskin, ternyata tidak termasuk warga yang melupakan sejarah. Karena itu, ketika petani lain menyingkirkan umbi-umbian, Noyo tetap menanam beberapa di antaranya di pekarangan rumahnya yang sempit. Sebelum meninggal pada tahun 2000, Noyo sempat berpesan kepada Trisno agar menyelamatkan umbi-umbian langka dan menanamnya kembali di ladang. Penyelamatan umbi-umbian itu merupakan wujud dari rasa terima kasih keluarga Noyo kepada umbi-umbian yang menyelamatkan keluarga mereka. 

Usaha mengumpulkan dan menyelamatkan umbi-umbian langka dilakukan Trisno secara serius sejak tahun 2006 lalu. Pengetahuan mengenai umbi-umbian semata dia peroleh dari ayahnya dan pengalaman masa kecil. Selebihnya, dia didampingi beberapa akademisi dalam mengembangkan usahanya tersebut.

Sebagai petani yang pendidikan sekolah dasar pun tak tamat, Trisno tidak mengenal ensiklopedi tanaman. Namun, kalau sudah bertutur soal umbi-umbian dia bisa menjelaskan ciri masing-masing umbi langka mulai dari bentuk daun, batang, hingga durinya. Bahkan, sekaligus cara mengolah umbi-umbian yang sebagian beracun itu agar aman dikonsumsi manusia. 

Untuk mencari umbi-umbian yang sebagian besar langka itu, hampir tiap hari Trisno meniti bukit-bukit dengan batu cadas nan tajam di sekitar desanya. Kadang dia merasa frustrasi karena umbi yang dulu biasa dia konsumsi seakan menghilang ditelan bumi. "Beberapa bibit umbi saya dapat di sela-sela batu cadas yang ada di bukit. Itu pun cuma satu batang dan sudah hampir mati," katanya.

Saat ini Trisno berhasil mengumpulkan sekitar 150 jenis umbi, termasuk yang langka seperti gembili jempina (Dioscorea sp) dan gembili wulung/ungu (Dioscorea sp). Umbi-umbian lainnya yang diselamatkan antara lain umbi senggani ulo yang bentuknya mirip ular yang melingkar, umbi legi, compleng (Amorphopallus sp), coklok, katak (Dioscorea pentafolia), dan beberapa jenis ganyong (Kanna edulif).

Umbi-umbian langka itu dia tanam lagi di ladang miliknya yang luasnya hanya seperempat hektar. Selain sempit, ladang milik Trisno Suwito seperti ladang-ladang di daerah Perbukitan Seribu pada umumnya, hanya berupa petak tandus yang ada di sela-sela bebatuan cadas. Tumbuh-tumbuhan, termasuk umbi-umbian, di ladang itu seperti tumbuh di atas batu. Kedalaman tanah di ladang itu kadang hanya 10 cm, selebihnya yang ditemukan melulu bebatuan.

Untuk petani sekelas Trisno, upaya mengumpulkan umbi langka itu pastilah menguras koceknya yang sudah tipis. Dia mengaku, untuk membeli bambu sebagai rambatan umbi-umbian itu dia harus mengeluarkan uang ratusan ribu rupiah untuk demi merawat umbi-umbinya yang langka tersebut. 

Sejauh ini usahanya sudah ada perhatian dari beberapa kalangan. Beberapa tahun yang lalu Trisno Suwito diundang di Trans TV, kemudian dari LIPI, dan kunjungan-kunjungan lainnya yang tentunya untuk belajar menyelamatkan umbi-umbian langka tersebut. Besar harapan Trisno agar usahanya ini mendapat perhatian dari Pemerintah untuk terus bisa melestarikan jenis tanaman yang mulai langka tersebut. (rizkya)

Sebagian Besar Kalimat dikutip dari: Kompas, Foto: food.jelatik.com

 

Komentar atas Penyelamat Umbi-Umbian, Ada di Sawahan

Agus dwiyanto 26 Mei 2016 14:52:24 WIB
Warga plarung bener" beruntung memiliki sosok seperti itu , semoga yg muda masih mau melestarikan seperti hal nya beliu .

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar
 

Pencarian

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Pengunjung

Talkshow Smart FM